KAJIAN Ulul Albab
Sosok manusia ulul albab adalah
orang yang mengedepankan dzikr, fikr dan amal shaleh. Ia memiliki ilmu yang
luas, pandangan mata yang tajam, otak yang cerdas, hati yang lembut dan
semangat serta jiwa pejuang (jihad di jalan Allah) dengan sebenar-benarnya
perjuangan. Ia bukan manusia sembarangan, kehadiranya di muka bumi sebagai
pemimpin menegakkan yang hak dan menjauhkan kebatilan.
Ulul albab adalah manusia yang
bertauhid. Kalimat syahadat sebagai pegangan pokoknya, “Asyhadu an la ilaha
illa Allah, wa asyhadu anna Muhammad Rasulullah.” Sebagai penyandang tauhid, ia
berpandangan bahwa tidak terdapat kekuatan di muka bumi ini selain Allah. Semua
makhluk manusia berposisi sama. Jika terdapat seseorang atau sekelompok/
sejumlah orang dipandang lebih mulia, adalah oleh karena ia atau mereka telah
menyandang ilmu, iman dan amal shaleh (taqwa). Penyandang derajat ulul albab
tidak akan takut dan merasa rendah di hadapan siapa pun sesama manusia.
Kelebihan seseorang berupa kekuasaan, kekayaan, keturunan/ nasab dan keindahan/
kekuatan tubuh tidak menjadikannya ia lebih mulia dari orang lain.
Komunitas UIN Maulana Malik Ibrahim
Malang berjiwa dan berwatak ulul albab. Orientasi hidup ulul albab hanya pada
ridho Allah swt. Kegiatan mendidik dan belajar yang dilakukan oleh dosen dan
mahasiswa semata-mata hanya untuk mendekatkan diri kepada tuhan. Mencari ilmu
bukan sebatas untuk memperoleh ijazah dan kemudahan dalam mencari pekerjaan dan
rizki. Ulul albab selalu yakin pada janji Allah bahwa rizki seseorang selalu
berada di bawah keputusan tuhan. Tidak selayaknya seseorang merisaukan terhadap
rizki dan jenis pekerjaan yang akan diperoleh. Kebahagiaan bukan semata-mata
terletak pada keberhasilan mengumpulkan rizki, tetapi pada kedekatan dengan
Yang Maha Kuasa, Allah swt. Mahasiswa mencari ilmu pengetahuan lewat observasi,
eksperimen dan membaca berbagai literature bukan semata-mata untuk memperoleh
indeks prestasi (IP) dan/ atau sertifikat/ ijazah, apalagi dikaitkan untuk
mendapatkan pekerjaan dan rizki, tetapi adalah kewajiban agar menyandang
derajat ulul albab.
Identitas ulul albab diyakini dapat
dibentuk lewat proses pendidikan yang mampu membangun iklim yang dimungkinkan
tumbuh dan berkembangnya dzikr, fikr dan amal shaleh. Menyesuaikan dengan
konteks ke-Indonesia-an, bentuk riil pendidikan UIN Malang diformat sebagai
penggabungan antara tradisi pesantren (ma’had) dan tradisi perguruan tinggi.
Pesantren telah lama dikenal sebagai wahana yang berhasil melahirkan
manusia-manusia yang mengedepankan dzikr, sedangkan perguruan tinggi dikenal
mampu melahirkan manusia fikr dan selanjutnya atas dasar kedua kekuatan itu
melahirkan manusia yang berakhlak mulia dengan selalu berkeinginan untuk
beramal shaleh.
A. Pengertian Ulul Albab
Istilah Ulul Albab (اولو الالباب)
dapat ditemukan dalam teks Al-Qur’an sebanyak 16 kali di beberapa tempat dan
topik yang berbeda, yaitu dalam QS Al Baqarah: 179, 197, 269, QS Ali Imran: 7,
190, QS Al Maidah: 100, QS Yusuf: 111, QS Al Ra’d: 19, QS Ibrahim: 52, QS Shad:
29, 43, QS Al Zumar: 9, 18, 21, QS Al Mu’minun: 54, dan QS Al Thalaq: 10.
Jika diamati kata lain yang
menyertainya, dapat diketahui bahwa اولو
الالباب berhubungan
dengan qishash, haji, hikmah, teks dan pemaknaan terhadap teks Al-Qur’an,
penciptaan makro kosmik, kebaikan dan keburukan, kisah para nabi, respon
masyarakat terhadap Al-Qur’an, ajaran tauhid sebagai tujuan utama Al-Qur’an
diturunkan, fungsi Al-Qur’an sebagai renungan, berkumpulnya keluarga
rahmat, abid (orang ahli ibadah) dan ‘alim (orang
berpengetahuan/ intelektual) memiliki stratifikasi lebih tinggi dari yang lain,
orang yang mendengarkan lalu mengikuti kebaikan, perintah memperhatikan makro
kosmik, hidayah dan dzikir, dan perintah bertaqwa agar terhindar dari siksa
Allah.
Berdasarkan atas ayat-ayat tersebut
di atas, para intelektual muslim Indonesia memahami, memberikan definisi dan
karakteristik اولو الالباب secara etimologis, kata albab adalah
bentuk plural dari kata lubb, yang berarti saripati sesuatu.
Kacang misalnya, memiliki kulit yang menutupi isinya. Isi kacang disebut lubb. Berdasarkan
definisi etimologi ini, dapat diambil pengertian terminologi bahwaulul albab adalah
orang yang memiliki akal yang murni, yang tidak diselubungi oleh kulit, yakni
kabut ide yang dapat melahirkan kerancuan dalam berfikir. Agar sedikit berbeda,
AM Saefuddin menyatakan bahwa ulul albab adalah intelektual
muslim atau pemikir yang memiliki ketajaman analisis atas fenomena dan proses
alamiah, dan menjadikan kemampuan tersebut untuk membangun dan menciptakan
kemaslahatan bagi kehidupan manusia.
Dengan bahasa yang lebih rinci lagi,
Jalaluddin Rahmat mengemukakan lima karakteristik ulul albab, yakni:
1. Kesungguhan mencari ilmu dan kecintaannya mensyukuri nikmat Allah (QS. Ali
Imran: 190).
2. Memiliki kemampuan memisahkan sesuatu dari kebaikan dan keburukan,
sekaligus mengarahkan kemampuannya untuk memilih dan mengikuti kebaikan
tersebut (QS. Al Maidah: 3).
3. Bersikap kritis dalam menerima pengetahuan atau mendengar pembicaraan orang
lain, memiliki kemampuan menimbang ucapan, teori, proposisi dan atau dalil yang
dikemukakan orang lain (QS. Al Zumar: 18).
4. Memiliki kesediaan untuk menyampaikan ilmunya kepada orang lain, memiliki
tanggung jawab untuk memperbaiki masyarakat serta terpanggil hatinya untuk
menjadi pelopor terciptanya kemaslahatan dalam masyarakat (QS. Ibrahim: 2 dan
Al Ra’d: 19-22).
5. Merasa takut hanya kepada Allah (QS. Al Baqarah: 197 dan Al Thalaq: 10).
Karakteristik ulul albab yang
dikemukakan oleh Jalaluddin di atas, item 1-3 dan 5 terkait dengan kemampuan
berfikir dan berdzikir, dan item keempat terkait dengan kemampuan berkarya
positif dan kemanfaatanya bagi kemanusiaan. Dengan demikian, insan ulul albab
adalah komunitas yang memiliki keunggulan tertentu dan berpengaruh besar pada
transformasi social. Kualitas dimaksud adalah terkait dengan kedalaman
spiritual (dkikr), ketajaman analisis (fikr) dan pengaruhnya yang
besar bagi kehidupan (amal shaleh). Tegasnya, kualitas ulul
albab adalah kualitas yang komprehensif atau dalam bahasa Dawam Rahardjo
sebagai orang atau sejumlah orang yang memiliki kualitas yang berlapis-lapis.
Tiga elemen ulul albab, yakni dzikr,
fikr dan amal shaleh bukanlah kualitas yang satu sama lain saling berdiri
sendiri. Di sini terdapat dialektika yang menyatakan bahwa aspek dzikir juga
mencakup fikir. Artinya bahwa kegitan berdzikir juga kegiatan fikir, namun
memiliki tingkatan lebih tinggi, karena pemikiran tersebut mengarah kepada
upaya maksimal mencapai kebenaran hakiki yang bersifat transendetal. Dengan
kata lain, dzikir sesungguhnya juga aktivitas berfikir namun disertai dengan
upaya sungguh-sungguh untuk mencapai hakikat sesuatu, yang mengarah kepada
pengakuan atas keagungan Maha Karya Tuhan sebagaimana disebutkan dalam QS. Ali
Imran: 190. Realitas empiris yang harus diamati dan dipelajari, yakni
pergantian siang dan malam dalam ayat tersebut, merupakan salah satu piranti
kuat bagi seseorang yang memperhatikan kekuasaan Tuhan. Dengan demikian,
aktivitas dzikir yang mengikutkan fikir merupakan kekuatan yang mengantarkan
seseorang memperoleh derajat ulul albab.
Berdasarkan pemahaman terhadap ayat
di atas, dapat dinyatakan bahwa kesombongan dan keangkuhan karena prestasi yang
didapatkan seseorang dalam mengembangkan keilmuan, jauh dari kualitas ulul
albab. Pengakuan akan kekuasaan Tuhan merupakan pernyatan yang selalu
dikumandangkan oleh seseorang yang berkualitas ulul albab.
Keragaman definisi di atas, dapat
dirangkum pengertian dan cakupan makna ulul albabdalam tiga pilar,
yakni: dzikir, fikir dan amal shaleh. Secara lebih detail, ulul albab adalah
kemampuan seseorang dalam merenungkan secara mendalam fenomena alam dan sosial,
yang hal itu mendorongnya mengembangkan ilmu pengetahuan, dengan berbasis pada
kepasrahan secara total terhadap kebesaran Allah, untuk dijadikan sebagai
penopang dalam berkarya positif.
Dengan demikian, dapat dinyatakan
bahwa karakteristik dan cirri-ciri ulul albab adalah memiliki kualitas berupa
kekuatan dzikir, fikir dan amal shaleh. Atau dalam bahas lain, masyarakat yang
mempunyai status ulul albab adalah mereka yang memenuhi indikator berikut:
1. Memiliki ketajaman analisis;
2. Memiliki kepekaan spiritual;
3. Optimisme dalam menghadapi hidup;
4. Memiliki keseimbangan jasmani-ruhani, individual-sosial dan keseimbangan dunia-akhirat;
5. Memiliki kemanfaatan bagi kemanusiaan;
6. Pioneer dan pelopor dalam transformasi sosial;
7. Memiliki kemandirian dan tanggung jawab; dan
8. Berkepribadian kokoh;
B. Dasar Ulul Albab
Sebagai sumber dan informasi dari
berbagai macam pengetahuan (knowledge) dan ilmu pengetahuan (science),
Al Qur’an mendorong umat Islam untuk senantiasa memiliki ghirah(semangat)
tinggi dan motivasi yang kuat dalam mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
Motivasi pengembangan keilmuan yang demikian kuat diantaranya tampak pada ayat
pertama yang diturunkan Tuhan kepada Rasulullah, yakni perintah iqra (membaca),
yang terdapat dalam surat Al Alaq ayat 1-5 berikut:
اقرء باسم ربك الذى خلق. خلق الانسان
من علق. اقرء وربك الاكرم. الذى علم بالقلم. علم الانسان مالم يعلم
( العلق: 1-5)
“Bacalah dengan (menyebut) nama tuhanmu yang
menciptakan (1) Dia telah mencipakan manusia dari segumpal darah (2) Bacalah,
dan tuhanmulah yang paling pemurah (3) Yang mengajar (manusia) dengan perantara
kalam (4) Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya (5)
Lima ayat di atas menunjukkan betapa
Islam concern terhadap ilmu pengetahuan. Bahkan dengan melihat
kepada semangat ayat tersebut, keilmuan Islam dibentuk sebagai ilmu yang
holistik, yaitu ilmu yang tidak membedakan antara ilmu yang bersumber dari
ayat-ayat Qur’aniyah pada satu sisi, dan ayat-ayat Kauniyah pada sisi lain.
Kata “اقرء” (membaca) merupakan petunjuk Al Qur’an akan pentingnya
penggunaan alat-alat inderawi (mata dan akal) sebagai pengumpulan informasi
pengetahuan. Untuk itulah, Al Qur’an (islam) sejak awal tidak menafikan adanya
ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh pengamatan inderawi terhadap sunnatullah.
Frasa “باسم
ربك” memberikan pengertian
bahwa kegiatan pembacaan terhadap alam, seperti yang dijelaskan sebelumnya,
harus didasarkan pada sebuah keyakinan teologis. Keyakinan tersebut dalam
perspektif Al Qur’an menjadi tolok ukur hadirnya nilai-nilai ilmu pengetahuan
yang dihasilkan oleh pengamatan inderawi terhadap fenomena-fenomena kealaman.
Sedangkan frase “خلق الانسان من علق” mempertegas petunjuk kepada kita bahwa hal yang harus diamati
oleh manusia pertama kali adalah menyangkut tentang dirinya sendiri, tentang
bagaimana proses penciptaannya, gejala-gejala biologis yang berada di dalamnya,
dan segala hal yang berkaitan dengan itu. Disinilah letak motivasi Al Qur’an
terhadap berkembangnya ilmu-ilmu alam, khususnya biologi. Penyelidikan terhadap
diri manusia, pada akhirnya akan menghadirkan sebuah kesadaran bahwa manusia
berada diantara sekian penciptaan yang besar (makrokosmik). Untuk mempelajari
alam semesta yang lebih luas itu, diperlukan ilmu fisika dan kimia agar manusia
dapat mempelajari alam luas, sehingga manusia bisa mencapai kepada kesadaran
yang satu (ربك).
Dengan demikian, arti membaca dalam
konteks ini tidak sekedar membaca teks tetapi juga membaca konteks. Bahkan
makna iqra’ dalam arti membaca konteks, yakni situasi
dan kondisi sosial, dalam konteks makna iqra’ dalam QS. Al Alaq
ini lebih relevan jika dikaitkan dengan kondisi pribadi Rasulullah
berikut setting sosio-kultural pada saat itu. Hal ini terbukti
dalam beberapa indikasi berikut:
1. Strategi dakwah Rasulullah yang diskenario oleh Rasulullah pada saat beliau
di Makkah, adalah didasarkan kepada keberhasilan beliau membaca situasi dan
kondisi masyarakat kota kelahiran beliau tersebut.
2. Rasulullah Muhammad tidak memiliki kemampuan membaca dan bahkan menulis
(teks). Artinya, ketidakmampuan Rasulullah dalam hal menbaca dan menulis teks,
namun tetap diperintahkan untuk membaca bahkan perintah tersebut diulangi
hingga tiga kali tersebut, semakin memperkuat makna iqra tidak
sekedar membaca teks tetapi membaca konteks.
3. Ketidakmampuan Rasulullah dalam hal membaca dan menulis, memiliki blessing teologis,
sebagai bukti historis tersendiri bagi upaya membantah tuduhan para orientalis
bahwa Islam adalah agama yang disistematisir oleh Rasulullah, atau Al Qur’an
sebagai hasil kreasi tangan Rasulullah SAW sendiri.
Merespons perintah Allah yang
diapresasi oleh Rasulullah tersebut, menuntut kepada semua umat Islam untuk
meneladani pola kepatuhan Rasulullah terhadap semua amar Tuhanya. Salah satu
indikator kepatuhan kita kepada Allah dan rasul-Nya adalah dengan membekali
diri dengan ilmu pengetahuan, yang hanya kita dapatkan melalui iqra’.
Jika pada masa dahulu iqra sudah berarti membaca kondisi
sosial, maka makna iqra dalam konteks pengertian sekarang
adalah melakukan upaya eksplorasi, meneliti, membaca, menelaah, menemukan, dan
bahkan mengembangkannya untuk kepentingan seluas-luasnya bagi kemanusiaan.
Bukankah ini juga merupakan apresiasi Rasulullah terhadap orang yang memiliki
kemanfaatan bagi orang lain sebagi sebaik-baik manusia. Bahwa orang yang paling
baik adalah orang yang memiliki kontribusi besar bagi kemanusiaan, yang
ditunjukkan dengan karya-karya positifnya. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam
hadist nabi:
حدثنا ابو كريب, حدثنا زيد بن حباب عن
معاوية بن صالح عن عمر و بن قيس عن عبد الله بن بسر ان اعرابيا قال: يا رسول الله
من خير الناس؟ قال: من طال عمره و حسن عمله (الترمذى)
Hadist di atas merupakan apresiasi
Rasulullah terhadap orang yang memiliki kontribusi besar bagi kehidupan. Bahwa
orang yang memiliki karya-karya positif
Bagi kehidupan diklaim sebagai manusia terbaik. Dalam
hadist lain juga dijelaskan bahwa orang yang memiliki ilmu pengetahuan dan
mengkontribusikannya untuk kepentingan kemaslahatan umat manusia, diumpamakan
sebagai hujan yang menimpa bumi yang di mana bumi tersebut menumbuhsuburkan tanaman
yang sangat bermanfaat bagi manusia.
حدثنا محمد بن العالء قال حدثنا بن
اسامة عن بريد بن عبدالله عن ابى بردة عن ابى موسى عن النبى صلى الله عليه وسلم
قال: مثل ما بعثنى الله به من الهدى و العلم كمثل الغيث الكثيراصاب ارضا فكانت
منها نقية قبلت الماء فانبتت الكلء والعشب الكثير وكانت منها اجادب امسكنت الماء
فنفع الله بها الناس فشربوا وسقوا وزرعوا واصابت منها طائفة اخرى انما هي قيعان
لاتمسك ماء ولا تنبت كلء فذلك متل من فقه في دين الله ونفعه ما بعثني الله به فعلم
وعلم ومثل من لم يرفع بذلك رءسا ولم يقبل هدي الله الذي ارسلت به
(البخاري)
Untuk memiliki kemampuan dan
profesionalisme yang dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan pemikiran
ini, diperlukan adanya upaya maksimalisasi potensi fikir. Sebagaimana
disebutkan dalam Al Qur’an misalnya, bahwa kata yang serumpun dengan kata ‘ilm,
fikr, faqih dan yang serumpun dengan tiga kata tersebut, disebutkan
secara berulang-ulang dalam berbagai bentuk atau sebanyak 750 kali. Bahkan kata
tersebut, menurut Wan Mohd Daud, merupakan kata yang paling banyak disebutkan
dalam Al Qur’an, setelah kata Allah sebanyak 2500 kali,
kata rabb 950 dan kata ‘ilm sebanyak 750
kali.
Banyaknya kata ‘ilm dalam
Al Qur’an tersebut, menjadi petunjuk jelas bahwa ilmu merupakan salah satu
unsur penting penting dalam konsepsi Islam. Oleh karena betapa pentingnya ilmu
itulah, maka logis jika wahyu yang pertama kali diturunkan Allah kepada Rasul
pilihan-Nya adalah iqra. Iqra adalah satu-satunya
sarana terpenting bagi lahir dan berkembangnya ilmu pengetahuan dan
terbentuknya pribadi insan Ulul Albab.
Dalam hadist Nabi juga dinyatakan
bahwa pemahaman terhadap agama, merupakan jalan untuk mencapai kebaikan yang
dikehendaki Tuhan, sebagi dinyatakan dalam hadist berikut:
حدثنا سعيد بن عفير قال حدثنا ابن وهب
عن يونس عن ابن شهاب قال قال حميد بن عبدالرحمت سمعت معاوية خطيبا يقول سمعت النبي
صلي الله عليه وسلم يقول: من يريد الله به خيرا يفقهه في الدين وانما انا قاسم
والله يعطي ولن تزال هذه الامة قائمة علي امر الله لا يضر هم من خالفهم حتي ياءتي
امر الله (البخاري)
Urgensi ilmu pengetahuan sebagai sistem
Islam ini tampak dalam apresiasi Allah dalam berbagai kesempatan dalam Al
Qur’an, maupun rasulullah dalam sejumlah teks hadist. Di dalam Al Qur’an
misalnya dinyatakan bahwa Alllah akan memberikan derajat yang tinggi terhadap
orang-orang yang berilmu (QS Al Mujadilah: 11), apresiasi Allah terhadap ulama
yang memiliki etos ketaqwaan yang tinggi di hadapan Allah (QS Fathir: 28).
Berdasarkan penjelasan kedua ayat
ini, dapat dinyatakan bahwa sesungguhnya Allah hanya akan memberikan
penghargaan demikian tinggi terhadap orang yang memiliki kualitas keilmuan yang
handal namun ditopang dengan basis keimanan yang kokoh pula. Karena itu pula,
kedua ayat ini ekuivalen dengan perintah ber-iqra yang ditopang
dengan bismi rabbika al-ladzi khalaq,sebagaimana dalam QS Al Alaq:
1.
Di dalam hadist juga terdapat
sejumlah teks yang menganjurkan umat Islam untuk menjadi kelompok yang berilmu,
dengan motivasi yang begitu kuat, misalnya adalah apresiasi nabi terhadap
seorang ulama yang harganya jauh lebih tinggi dari seorang ahli ibadah. Dalam
hadist itu dinyatakan bahwa keutamaan seorang ahli ilmu dibandingkan dengan
ahli ibadah laksana keutamaan bulan atas sejumlah bintang. Makna dari hadist
tersebut adalah bahwa orang yang memiliki ilmu pengetahuan memiliki kontribusi
besar dan kemanfaatan bagi masyarakat luas yang diumpamakan seperti bulan, yang
sinarnya bisa menerangi kegelapan dunia.
Insan Ulul Albab adalah komunitas
yang meyakini bahwa ilmu pengetahuan merupakan salah satu dari sekian piranti
terpenting untuk mendapatkan kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Bahwa
tuntutan untuk mengembangkan keilmuan merupakan sebuah kemestian karena hanya
dengan ilmulah manusia bisa mendapatkan jalan kemudahan untuk “menaklukan” dan
mendapatkan kemudahan di dunia dan mendapatkan kebahagiaan di akhirat kelak.
Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadist nabi berikut:
العلم قبل القول والعمل بالعلم وان
العلماء هم ورثة الانبياء ورتوا العلم من اخذه اخذ بحظ وافر ومن سلك طريقا يطلب به
علما سهل الله له طريقا الي الجنه و قال جل ذكره انما يخشي الله من عباده العلماء
وقال وما يعقلها الا العالمون وقالوا لو كن نسمع او نعقل ما كن في اصحاب السعير
وقال هل يستوي الذين يعلمون والذين لا يعلمون وقال النبي صلي الله عليه وسلم من
يريد الله به خيرا يفقهه في الدين و انما العلم بالتعلم وقال ابو ذر لو وضعتم
الصمصامة علي هذه واشار الي قفاه ثم ظننت اني انفد كلمة سمعتها من النبي صلي الله
عليه وسلم قبل ان تجيزوا علي لانفدتها وقال ابن عباس كونوا ربانيين حلماء فقهاء و
يقال الرباني الذي يربي الناس بصغار العلم قبل كباره (البخاري)
Dalam hadist di atas dinyatakan
bahwa siapa pun orang yang mencari ilmu dengan niat untuk mendekatkan diri
kepada Allah dan mampu memberikan implikasi positif bagi diri dan sesamanya,
maka Tuhan menjanjikan kepadanya sebuah jalan kemudahan dari sekian banyak
jalan yang dapat ditempuh untuk mencari surga.
Memang tidak banyak penjelasan dalam
kitab-kitab syarah hadist terkait dengan makna “jalan menuju surga” sebagaimana
disebutkan dalam teks hadist tersebut. Namun hemat penulis bahwa orang yang
mengkaji ilmu itu berarti mencari cara untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Orang yang telah mencapai kedekatan diri kepada Allah maka ia dengan mudah akan
mendapatkan petunjuk-Nya. Berbekal dengan petunjuk tuhan itulah maka pengkaji
ilmu tersebut akan senantiasa berupaya melaksanakan seluruh ajaran Allah, sehingga
Allah akan memenuhi janji-Nya dengan menghadirkan surga kepadanya.
Kajian dan pembicaraan mengenai
surge tuhan ini akan lebih menarik jika tidak hanya dimaknai sebagai kenikmatan
ukhrawi, tetapi juga sejumlah kenikmatan duniawi. Sebagaimana dinyatakan oleh
Imam Khomeini, yang menyitir pendapat Shadr al-Muta’allihin, bahwa melihat
hal-hal yang menyenangkan itu berarti surga, sebaliknya melihat hal-hal yang
tidak menyenangkan berarti itu neraka. Bertolak dari pendapat tersebut, maka
segala sesuatu yang dapat membahagiakan hidup bisa berarti “surga” dan
sebaliknya segala sesuatu yang menghambat serta menyengsarakan hidup maka
itulah “neraka”. Dalam konteks hadist tentang motivasi mencari ilmu di atas,
maka dapat disimpulkan bahwa orang yang melengkapi dirinya dengan ilmu akan
mendapatkan kemudahan dalam hidupnya, karena ia dapat menguasai beberapa sektor
kehidupan yang mendatangkan sejumlah kebahagiaan. Dengan bekal kemudahan dan
kebahagiaan hidupnya di dunia itulah, ia akan dapat berinvestasi demikian banyak
yang “buahnya” akan dipetik dan dinikmatinya di akhirat kelak. Dengan makna
demikian pulalah, maka hadist ini sejalan dengan teks Al Qur’an yang dijadikan
sebagai doa oleh setiap hamba tuhan, agar diberikan kebaikan di dunia dan di
akhirat kelak.
Maksimalisasi potensi fikir yang
melahirkan ilmu pengetahuan ini, dalam konsepsi islam terintregasi dengan
wahyu. Dalam pengertian bahwa pengembangan potensi fikir haruslah didasarkan
kepada nilai-nilai ketuhanan. Dalam QS Al Alaq, disebutkan bahwa iqra yang
mendasari ilmu pengetahuan adalah iqra bi ism rabbik iqra, yakni
pengembangan keilmuan yang didasarkan kepada nilai-nilai ketuhanan. Dengan kata
lain, iqra yang dikembangkan dalam islam adalah ilmu
pengetahuan yang berbasis pada nilai-nilai ilahi atau terikat nilai-nilai
ketuhanan (value bound), bukan iqra yang sekuler dan
bebas nilai (value free).
C. Kepribadian Ulul Albab
Dalam pandangan islam, mahasiswa
merupakan komunitas yang terhormat dan terpuji, karena ia merupakan komunitas
yang menjadi cikal bakal lahirnya ilmuan (scietist) yang diharapkan mampu
mengembangkan ilmu pengetahuan dan memberikan penjelasan pada masyarakat dengan
pengetahuannya itu. Oleh karenannya, mahasiswa dianggap sebagai komunitas yang
penting untuk menggerakkan masyarakat islam khususnya, dan seluruh umat manusia
pada umumnya, menuju kekhalifahan yang mampu membaca alam nyata sebagai sebuah
keniscayaan ilahiyah, yakni mampu mengintegralkan diri dan melebur dalam
kesadaran kemanusiaan dan ketuhanan dalam waktu yang bersamaan.
Untuk mencapai hal yang disebut
terakhir, mahasiswa islam dalam melakukan pembacaan alam nyata yang
dikembangkan dalam fakultas ilmu-ilu alam, seperti Biologi, Fisika, Kimia, dan
ilmu-ilmu sosial, seperi Ilmu Pendidikan, Ilmu Hukum, Ilmu Ekonomi, Psikologi, Ilmu
Bahasa, harus mempunyai dasar-dasar keilmuan ilahiyah yang didasarkan atas
pemahaman terhadap wahyu secara baik. Oleh sebab itu, Universitas Islam Negeri
(UIN) Malang memandang keberhasilan pendidikan mahasiswa diukur dengan standard
apabila mereka memiliki identitas dan kepribadian sebagai mahasiswa yang
mempunyai: (1) ilmu pengetahuan yang luas, (2) penglihatan yang tajam, (3) otak
yang cerdas, (4) hati yang lembut dan (5) semangat tinggi karena Allah.
1. Mempunyai ilmu pengetahuan yang luas
Dalam islam dikenal ada dua teori
dan aliran ilmu pengetahuan seperti yang terjadi di Barat, yaitu rasionalisme
dan empirisme. Teori rasionalisme dalam Islam dikenal dengan teori qiyas
(analogi), yaitu menggunakan metode berpikir rasional. Tokoh dari kalangan ini
adalah Ibn Rusyd (1126-1198). Sedangkan Ibn Taymiyah (1262-1328) disebut-sebut
sebagai tokoh aliran yang kedua, yaitu aliran empirisme.
Dalam teori rasionalisme disebutkan
bahwa ilmu pengetahuan ada dalam dua bentuk yaitu pengetahuan dalam bentuk konsep
(tashawur) dan pengetahuan dalam bentuk pembenaran (tashdiq). Jalan untuk
memperoleh pengetahuan tashawur adalah dengan jalan menggunakan definisi
(al-hadd), sedangkan jalan memperoleh pengetahuan tashdiq adalah silogisme
(al-qiyas).
Pandangan ini ditolak oleh Ibn
Taymiyah, sebab definisi itu hanya bersifat khabariyah yang tidak disertai oleh
bukti-bukti dan alasan yang kuat. Akal menurut teori rasionalisme tidak bisa
didefinisikan, akan tetapi kita bisa mengetahui akal. Untuk itu, kata Taymiyah,
jslsn untuk mengetahui benda bukan definisi itu sendiri, melainkan pengetahuan
tentang obyek itulah yang membentuk pengetahuan.
Sebelumnya, Imam Syafi’i membagi
ilmu pada ilmu umum dan ilmu khusus. Ilmu umum adalah ilmu yang harus diketahui
dan dilaksanakan oleh umat islam. Ilmu seperti ini termasuk ilu dasar, seperti
shalat, zakat, puasa, haji, larangan zina, bunuh diri, mencuri, miras (minuman
keras). Sedangkan ilmu khusus adalah ilmu yang berkaitan dengan
princian-perincian kewajiban pokok yang tidak disebutkan secara jelas dalam
al-Qur’an dan hadits.
Dalam konsep teologi Mu’tazilah,
pengetahuan bersumber dari akal, bukan dari wahyu. Oleh karenanya,
kewajiban-kewajiban, kebaikan dan keburukan bersumber dari akal ini, bukan dari
wahyu,. Sekalipun demikian, kata aliran ini selanjutnya, akal tidak bisa
mengetahui hal yang terinci. Bagian yang terakhir ini hanya bisa diketahui
melalui wahyu. Pandangan ini sama dengan alira Maturidiyah dan ditentang oleh
kalangan Asy’ariyah. Dalam pandangan Asy’ariyah pengetahuan hanya bisa bersmber
dari wahyu (syari’ah) bukan melalui akal.
Sementara itu, al-Ghazali membagi
ilmu pada ilmu yang terpuji (al-‘Ilm al-Mahmudah) dan ilmu yang tercela
(al-‘Ilm al-Madzmumah). Karena perspektif yang dipergunakan adalah azaz manfaat,
berguna dan membawa kebaikan pada manusia, al-Ghazali memasukkan ilmu politik
sebagai ilmu yang wajib dipelajari, karena politik merupakan prasyarat
kesempurnaan pengalaman salah satu syariat islam, yaitu haji. Lebih dari itu,
al-Ghazali memasukkan ilmu kedokteran, astronomi dan astrologi, ilmu yang
sementara ini dianggap sebagai ilmu umum dan tidak mendapat perhatian dar
lembaga pendidikan tinggi agama (seperti pesantren, IAIN dan STAIN),
ke dalam kategori ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap kelompok komunitas
masyarakat (fardlu kifayah).
Para pemikir islam abad XX,
khususnya setelah Seminar Indonesia Pendidikan Islam di Makkah pada tahun 1977,
mengklasifikasikan ilmu menjadi dua kategori, ilmu abadi (perennial knowledge )
yang berdasarkan wahyu Ilahi yang tertera dalam al-Qur’an dan Hadits dan ilmu
yag dicari (acquired knowledge) termasuk sains kealaman dan terapannya, selama
tidak bertentangan dengan syari’at islam.
Universitas Islam Negeri (UIN)
Malang memandang bahwa seluruh ilmu pengetahuan yang terdapat dalam
kategori-kategori yang berbeda tadi perlu dikuasai oleh mahasiswa islam, baik
dicapai secara personal maupun kolektif, dalam tempuhan SKS maupun tidak.
Atinya, sebagai mahasiswa islam yang bernaung di bawah bendera UIN, setiap
personal diharapkan mempunyai gairah untuk mempelajari semua ilmu pengetahuan
dengan pandangan bahwa setiap ilmu pengetahuan pasti bernilai guna bagi manusia
dan kemanusiaan.
2. Penglihatan yang tajam
Al-Qur’an memberitahukan kepada kita
bahwa melihat sangat penting. Begitu pentingnya melihat, al-Qur’an menyebutkan
kata nadhara berikut kata bentukannya sekitar 192 kali, kata bashara beerikut
kata bentukannya sekitar 148 kali, dan kata ra’a berikut kata bentukannya
sebanyak 328 kali. Al-Qur’an bahkan mengancam orang yang mempunyai penglihatan
tetapi ia tidak dapat melihat (mana yang baik dan mana yang buruk) dengan
penglihatannya.
Penglihatan yang tajam akan mampu
memberikan informasi yang benar tentang segala hal, sehingga dengan itu
mahasiswa mampu mengevaluasi, menganalisis dan membedakan informasi yang baik
dan buruk, benar dan salah, hak dan batil, yang selanjutnya ia akan memilih
yang baik untuk dikerjakan, memilih yang benar untuk diikuti, dan memiliki yang
hak untuk dibela. Oleh karenanya, agar mahasiswa mampu membaca kesunyatan alam
secara benar, ia perlu menguasai metodologi pengetahuan, seperti Metode
Berpikir, Metodologi Penelitian, Metodologi Studi Islam, Metode Tafsir, Metode
Istimbath Hukum (Islam), dan berbagai ilmu metode yang lain. Sebuah penglihatan
yang tajam, dengan demikian, mempunyai pengertian kemampuan menganalisis
seluruh kenyataan yang dapat ditangkap oleh kelima indera manusia, ditambah
dengan kemampuan indera keenam untuk memperoleh ilmu pengetahuan ‘irfaniy.
3. Otak yang cerdas
Untuk mencapai kemampuan penglihatan
yang tajam, mahasiswa diharapkan mempunyai potensi aqliyah, yaitu potensi
analisis yang rasional dan obyektif. Potensi sangat penting dimiliki oleh
mahasiswa, karena ia merupakan salah satu alat (memperoleh) pengetahuan. Al-Qur’an
menyebutkan akal sebanyak 49 kali, yang kesemuanya dalam bentuk kata kerja
(verb). Al-Qur’an menyebutkan “berfikir”, sebagai wujud dari pengguanaan
potensi akal, dalam bentuk kata fakkara (berikut kata bentukannya) sebanyak 18
kali, yang kesemuanya juga dalam bentuk kata kerja (verb). Sedangkan dalam
bentuk kata faqaha (memahami-wujud lain dari fungsi akal), berikut kata
bentuknya disebutkan al-Qur’an sebanyak 20 kali, yang kesemuanya juga dalam
bentuk kata kerja (verb). Hal ini memberikan gambaran kepada kita bahwa potensi
dasar akal sesungguhnya aktif, tidak pasif. Manusialah yang membuatnya menjadi
pasif dengan tidak memikirkan bagaimana alam ini diciptakan, bagaimana gunung
ditinggikan, bagaimana hubungan sosial dapat menciptakan keharmonisan dan
konflik, bagaimana manusia menciptakan kebudayaan dan seterusnya.
Al Farabi (870-950 M), seorang
filosof muslim yang berasal dari Transoxania, memandang bahwa daya berfikir
manusia terdiri dari tiga tingkatan, yaitu material intellect (al-‘aql
al-hayulaniy), actual intlect (al-‘aql bi al-fi’l), dan acquired
intellect (al-‘aql al-mustafad). Sementara itu, Ibnu Sina (980-1037 M)
membagi daya ini menjadi empat tingkatan, yaitu: material intellect
(al-‘aql al-hayulany), intelectus in habitu (al-‘aql al-milkah), actualintelect
(al-‘aql bi al-fi’l), dan acquired intellect (al-‘aql
al-mustafad).
Dalam kajian psikologi, ada yang
disebut dengan test intelligent quotion (IQ), untuk pertama
kalinya dilaksanakan oleh Binet dan dipublikasikan pada tahun 1305. Model test
yang ditemukan oleh Binet tersebut kemudian dikembangkan oleh Stern dengan
nalar bahwa umur mental (mental age/ MA) dan umur kronologis (chronological
age/ CA) bagi anak normal terdapat rasio. Yang dapat kita ambil
hikmanya dari kajian psikologis tentang intelegensi manusia ialah bahwa semakin
dewasa umur dan mental seseorang, semakin cerdas juga ia dalam menyelesaikan
permasalahan yang dihadapinya.
Dari sini dapat dipahami bahwa yang
dimaksud dengan “otak yang cerdas” dipahami dengan ithlaq al-juz wa
iradat al-hal, menyebutkan juz’iyat tetapi yang dimaksudkan adalah
sifat dan prilakunya. Otak yang cerdas, secara akademik barangkali diukur
dengan nilai indeks prestasi (IP) yang diperoleh, tetapi dalam perilaku
sehari-hari diukur dengan bagaimana ia dapat mengidentifikasi persoalan yang
dihadapi, memilih dan memilah, melakukan evaluasi dan analisis, kemudian
menyelesaikan persoalan tersebut dengan cepat (dalam ukuran waktu tidak
mengakibatkan penumpukan persoalan), tepat (sesuai dengan dasar keilmiahan) dan
benar (dalam ukuran agama dan etika).
4. Hati yang lembut
Dalam Al Qur’an, hati terkadang
disebut dengan menggunakan kata qalbun dan terkadang
dengan kata af’idatun. Kata qalbun berikut
kata bentuknya disebutkan dalam Al Qur’an sebanyak 135 kali, sedangkan
kata af’idatun berikut kata bentuknya disebut
sebanyak 16 kali. Yang menarik ditegaskan di sini bahwa al-Qur’an terkadang
menyebut kalbu yang berfikir dan kalbu dan tidak melihat, kalbu yang tidak
mendengar, kalbu yang tidak memahami,kalbu yang tidak mengetahui, dan bahkan
kalbu yang berarti telinga.
Secara biologis kalbu hanya ada
satu. Meski secara biologis hanya ada satu kalbu, akan tetapi dengan bebrapa
potensi yang dimilikinya, kalbu mudah melakukan perubahan-perubahan dari apa
yang ditetapkannya sendiri. Perubahan-perubahan hati tersebut digambarkan dalam
bentuk kata kerja (verb)nya, yaitu qalaba. Kata ini berikut beberapa kata
bentuknya dalam al-Qur’an tersebut 33 kali.
Dalam hidup bermasyarakat, hati
adalah terminal dan sumber segala sesuatu yang berhubungan dengan perilaku
setiap individu. Dengan kata lain, perilaku yang termanifastasikan dalam
kehidupan sehari-hari merupakan cerminan dari perilaku kalbu. Dalam hal yang
berhubungan dengan ilmu(pengetahuan), hati merupakan terminal pengetahuanyang
diperoleh melalui cerapan indera. Indera memberikan informasi tentang sesuatu
yang ditangkapnya kepada akal, akal memproses, mengevaluasi, dan menilai
informasi yang dikirim indera, dan kemudian berlabuh dalam hati menjadi sebuah
keyakinan. Keyakinan inilah yang dicari pengetahuan dan disebut dengan
“kebenaran”.
Dilihat dari hubungan subyek dan
obyeknya, kebenaran dapat dibagi pada dua macam, yaitu kebenenaran ontologis
dan kebenaran logis. Kebenaran ontologis ialah kebenaran yang ada pada obyek,
sedangkan kebenaran logis ialah kebenaran putusan subyek dalam memberikan nalar
tentang obyek. Sedangkan ditinjau dari tingkatnya , kebenaran dapat dibagi pada
kebenaran mutlak (kebenaran yang datang dari Tuhan), kebenaran nisbi (kebenaran
yang diperoleh manusia) dan kebenaran dasar (kebenaran manusia yang masih
membutuhkan penegasan lagi). Di bawah kebenaran dasar ini, tidak disebut dengan
kebenaran, karena kebenaran dasar merupakan tingkatan terendah dari sebuah
kebenaran.
Agar mahasiswa mempunyai penglihatan
yang tajam dan otak yang cerdas diperlukan hati yang lembut, yaitu hati yang
dapat menerima kebenaran yang datang dari Allah swt. Sebab, al-Qur’an
menggambarkan ada kalbu yang keras (ghalidh al-qalb) yang menolak petunjuk
(hidayah) Allah swt. Ghalidh al-qalb diidentifikasi oleh al-Qur’an sebagai
kalbu yang sakit (maridl al-galb) dan tidak bisa membaca alam sebagai ciptaan
Allah, bahkan mereka mempertanyakan untuk apa semua itu diciptakan. Itulah
sebabnya, agar mahasiswa mampu membaca alam tidak hanya sebagai sebuah
kesunyatan, melainkan diyakini juga sebagai suatu kenyataan ilahiyah, mahasiswa
diharapkan mempunyai hati yang lembut, suci, bersih dan putih.
5. Semangat tinggi karena Allah
Semangat tinggi mempunyai pengertian
bahwa dalam menempuh studi dan kehidupannya, mahasiswa diharapkan mempunyai
dasar jihad, yaitu semangat yang tinggi untuk mencapai tujuannya.
Kata jihad (Arab) berasal dari kata jahada, mujhadatan
wa jihadan. Dilihat dari akar katanya, kata ini berkaitan dengan
sebuah upaya yang dilakukan dengan sekuat tenaga hingga mencapai puncak
kekuatan dan kemampuan (juhaadaa). Untuk itu, orang Arab menyebut dinas
militer, sebuah dinas yang mengandalkan kemampuan yang luar biasa, dengan jahadiyyah dan
menyebut tanah keras atau tanah yang tidak mempunyai tumbuh-tumbuhan
dengan jahaad yang bentuk plularnya juhud, serta
menyebut orang yang bekerja sekuat tenaga, bersungguh-sungguh dan mengeluarkan
semua kemampuannya dengan jaahid. Sedangkan katajuhida dipergunakan
orang Arab untuk menyebut orang kurus karena bekerja
keras.
Kata ini pertama kali ditemukan
dalam al-Qur’an pada surah al-Baqarah (2):218. Ayat ini turun berkaitan dengan
pertanyaan pada sahabat adakah peperangan yang diberi pahala para mujahid?
Kemudian Allah swt menurunkan QS. Al-Baqarah (2):218. Sementara dalam QS.
al-Nisa’ (4):95 kata ini diulang dalam satu ayat sebanyak tiga kali. Ayat ini
menjelaskan tentang keutamaan orang-orang yang berjihad. Menurut riwayat Abi
Dawud dari Zaid bin Tsabit berkata:
“Saya berada di dekat Nabi saw., maka saya
menyelubungkan pedang Nabi saw dsn tiba-tiba paha Nabi menimpa di atas paha ku.
Saya tidak pernah merasakan beratnya sesuatu lebih dari paha Nabi. Kemudian
Nabi terasa ringan dan bersabda: “Tulis”. Saya pun kemudian menulis “….” Setelah
mendengar keutamaan para mujtahid, Ummu Maktum, seorag laki-laki yang buta,
berdiri dan berkata: “Ya Rasulullah bagaimana orang mukmin yang tidak bisa ikut
berperang? Setelah dia selesai berbicara, saya kemudian menyelubungkan pedang
Nabi. Tiba-tiba paha Nabi menimpa di atas saya, saya pun merasakan berat kedua
kalinya yang sama dengan kali yang pertama. Kemudian Nabi terasa ringan dan
bersabda: “Wahai Zaid bacalah”, saya membacakan “….”, maka Nabi bersabda
“Ghayru Ulidldlaruri” sampai akhir ayat.
Sekalipun dalam kedua ayat di atas,
bahkan beberapa ayat yang lain, kata jihad berhubungan dengan perang, kata ini
tidak hanya menunjukkan pada jihad dengan pedang. Dalam QS. al-Ankabut:6
misalnya, kata ini mempunyai pengertian yang sama dengan amal saleh atau
pekerjaan-pekerjaan untuk mentaati syariat. Oleh karenanya dalam menafsirkan
ayat ini Imam Hasan Al-Bishriy mengatakan bahwa setiap manusia pasti melakukan
jihad, sekalipun pada suatu ketika tidak dengan menggunakan pedang. Sebab itu,
jihad dalam sebuah studi tidak diartikan dengan mengangkat senjata untuk
memperoleh kemenangan dalam sebuah perang, melainkan berusaha sekuat tenaga
dengan mengangkat pena untuk memperoleh pengetahuan yang dicita-citakan dalam
rangka memerangi hawa nafsu yang akan menghancurkan dan merusaknya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Demikian, dapat dinyatakan
bahwa karakteristik dan cirri-ciri ulul albab adalah memiliki kualitas berupa
kekuatan dzikir, fikir dan amal shaleh. Atau dalam bahas lain, masyarakat yang
mempunyai status ulul albab adalah mereka yang memenuhi indikator berikut:
y Memiliki ketajaman analisis;
y Memiliki kepekaan spiritual;
y Optimisme dalam menghadapi hidup;
y Memiliki keseimbangan jasmani-ruhani, individual-sosial dan keseimbangan
dunia-akhirat;
y Memiliki kemanfaatan bagi kemanusiaan;
y Pioneer dan pelopor dalam transformasi sosial;
y Memiliki kemandirian dan tanggung jawab; dan
y Berkepribadian kokoh;
Dasar Ulul
Albab adalah QS Al Alaq ayat 1-5:
اقرء باسم ربك الذى خلق. خلق الانسان
من علق. اقرء وربك الاكرم. الذى علم بالقلم. علم الانسان مالم يعلم
( العلق: 1-5)
“Bacalah dengan (menyebut) nama tuhanmu yang
menciptakan (1) Dia telah mencipakan manusia dari segumpal darah (2) Bacalah,
dan tuhanmulah yang paling pemurah (3) Yang mengajar (manusia) dengan perantara
kalam (4) Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya (5)
Identitas dan kepribadian sebagai
mahasiswa Ulul Albab yang mempunyai: (1) ilmu pengetahuan yang luas, (2)
penglihatan yang tajam, (3) otak yang cerdas, (4) hati yang lembut dan (5)
semangat tinggi karena Allah.
B. Saran
Sebagai mahasiswa UIN Maliki Malang
yang berlandaskan Ulul Albab, sudah sepatutnya kita mengilhami atau memahami
makna Ulul Albab secara mendalam dan diterapkan dalam kepribadian kita seperti
kepribadian yang telah dibahas di awal. Sekian!!!!!!!!
DAFTAR
PUSTAKA
Tim penulis, 2010, Tarbiyah Ulul Albab, UIN-Malang
Press, Malang
No comments:
Post a Comment